Judul Buku : Asas-Asas Ekonomi Islam
Penulis : M. Sholahuddin, S.E., M.Si.
Penerbit : PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Tahun Terbit : 2007
Jumlah Halaman : 311 halaman
Dalam
pendahuluan buku ini, M. Sholahuddin terlebih dahulu menjelaskan
mengenai definisi ekonomi. Manusia sebagai faktor utama dalam setiap
pengembangan disiplin ilmu, selalu dijadikan sebagai objek dalam suatu
kajian-kajian ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, ataupun
psikologi. Pandangan manusia sebagai pelaku ekonomi, kebutuhan manusia, perilaku
ekonomi manusia termasuk pilihan perilaku maupun dorongan perilaku
manusia, secara khusus, berpengaruh kepada perkembangan ilmu dan sistem
ekonomi dalam kurun waktu terakhir ini. Perbedaan pandangan terhadap
manusia ini telah melahirkan berbagai pemikiran tentang masalah ekonomi
dan solusi yang ditawarkan. Menurut Samuelson dan Nordhaus, ekonomi
didefinisikan sebagai perilaku masyarakat dalam menggunakan sumber daya
yang terbatas (langka) dalam rangka memproduksi berbagai komoditi, untuk
kemudian disalurkan (didistribusikan) komoditi tersebut kepada berbagai
individu/personal dan kelompok yang ada dalam suatu masyarakat. Dalam
perspektif Islam, An-Nabhani (1986) mengambil makna istilah ekonomi
sebagai kegiatan mengatur urusan harta kekayaan, baik yang menyangkut
kepemilikan, pengembangan, maupun distribusi. Dari beberapa definisi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa ekonomi dan manusia adalah suatu
perpaduan dan bersesuaian satu sama lain.
Selanjutnya,
juga dijelaskan tentang definisi ekonomi Islam. Para ahli telah banyak
mendefinisikan tentang apa yang dimaksud dengan ekonomi Islam, yang
intinya ekonomi Islam merupakan suatu ilmu pengetahuan yang berupaya
memandang, meninjau, meneliti yang pada akhirnya menyimpulkan dan
menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara islami.
Yang dimaksud dengan cara-cara yang islami disini ialah metode-metode
yang didasarkan atas ajaran agama Islam. Menurut pengertian ini, maka
istilah yang sering digunakan adalah ekonomika Islam atau ilmu ekonomi
islami yang menitikberatkan segala aspek ontologinya pada ajaran agama
Islam. Menurut Jati (2004), terdapat dua bagian besar dalam ekonomi yang
harus dipisahkan, yaitu ilmu ekonomi dan sistem ekonomi. Hal ini ada
karena ada dua realitas yang tidak sama. Yang paling tepat dikategorikan
sebagai ilmu ekonomi, pertama, yaitu pengaturan urusan
masyarakat dari segi pemenuhan harta kekayaan dan kegiatan untuk
memperbanyak jumlah barang dan jasa serta bagaimana strategi untuk
menjaga pengadaannya (produksi). Kedua, sama sekali tidak
dipengaruhi oleh banyak dan sedikitnya harta kekayaan, tetapi hanya
berhubungan dengan tata kerja (mekanisme) pendistribusiannya. Pemahaman
seperti ini akan membawa kita agar tidak terjebak dalam wacana
Islamisasi pengetahuan. Pakar Ekonomi Islam tidak perlu membuang semua
teori yang telah berhasil dikembangkan.Yang diperlukan ialah melakukan
internalisasi nilai-nilai Islam dalam rangka turut mengembangkan
keberadaan dari ilmu ekonomi.
Menurut
Ismail (1993), kajian mengenai manusia telah banyak ditulis dengan
sudut pandang dan cara analisis yang beragam, yang sebagian besar
menitikberatkan pada pola pikir sains (metode ilmiah) dan pola pikir
rasional (metode rasional). Metode ilmiah banyak digunakan ilmuwan untuk
meneliti hakikat sesuatu dengan melakukan eksperimen terhadap obyek
yang akan diteliti. Ciri khas metode ini adalah mengesampingkan
kebenaran informasi yang telah ada yang dibangun oleh ilmuwan
sebelumnya, kebenaran ini akan diterima setelah didapatkan kembali
sebuah bukti dalam eksperimen yang telah dilakukan. Kesimpulan dari
hasil studi metode ilmiah disebut sebagai realitas ilmiah atau teori
ilmiah, yang masih memiliki kemungkinan unsur kesalahan, bersifat
praduga tidak pasti, meski disebut ilmiah. Sedangkan metode rasional
sebenarnya adalah proses pemikiran melalui pencermatan realitas dengan
indra. Dalam praktiknya, metode ini yang paling sering digunakan karena
dapat dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja. Hasil metode ini dapat
mengandung dua kemungkinan yaitu (a) jika kesimpulan itu berkaitan
tentang ”ada” atau ”tidak ada” sesuatu, maka ia bersifat pasti dan tidak
mengandung unsur kesalahan, kemudian (b) apabila berkaitan dengan
hakikat atau fenomena sesuatu, maka hasil metode ini bersifat tidak
pasti dan mungkin mengandung kesalahan.
Dalam
konsep Islam, semua sistem kehidupan yang di dalamnya termasuk sistem
ekonomi harus dibangun dengan sebuah kebenaran. Diambil dari sumber yang
benar, dikaji dan diterapkan secara benar pula. Akidah Islam menuntut
seorang Muslim untuk berupaya mencari kebenaran hakiki. Metode berpikir
manusia dapat diluruskan, dengan berbekal informasi yang disampaikan
dalam Alquran. Kebenaran wahyu Allah kemudian akan menuntun keterbatasan
akal pikiran manusia. Allah menjelaskan berbagai potensi kehidupan
manusia berupa akal, kebutuhan fisik dan naluri. A.M. Saefuddin (1987)
mengemukakan bahwa pandangan ilmu ekonomi tentang manusia sekarang ini
sarat dengan kultur Barat sehingga perlu diganti dengan hono Islamicus. Barat menetapkan manusia sebagai ”homo economicus”
(makhluk ekonomi), yang dalam hidupnya hanya berfokus pada materi,
tidak peduli soal moral ataupun agama. Mereka hanya memperhatikan
keuntungan materi dengan prinsip ”mendapatkan keuntungan semaksimal
mungkin dengan biaya seminimal mungkin”, yang merupakan pandangan
materialistik sekularistik. Sedangkan Islam adalah agama yang sesuai
dengan fitrah manusia dan memuaskan akal manusia. Dalam hal ini, Islam
telah mendorong manusia untuk menggunakan rasio atau kemampuan pikirnya
untuk memahami sesuatu yang dapat dilihat secara indrawi. Keberadaan
Allah, kebenaran Alquran, dan kerasulan Muhammad SAW., keberadaan
kebutuhan fisik dan naluri manusia, keterbatasan manusia, dan lain
sebagainya, dapat dipahami dengan metode rasional. Sedangkan terhadap
sesuatu yang ghaib atau mengenai hakikat sesuatu yang tidak dapat
diindra oleh manusia, maka hal tersebut dapat diketahui melalui
informasi yang telah teruji kebenarannya (dalil naqli) secara rasional
pula, yaitu Alquran dan Al-Hadits.
Manusia
dari segi fitrahnya, diciptakan dengan beragam tuntutan dan kebutuhan
hidup yang dapat dibuktikan karena dapat diindra dan dirasakan langsung
dalam diri kita. Allah menganugrahkan keberadaan fitrah tersebut yang
memungkinkan manusia agar mampu bertahan hidup. Fitrah tersebut muncul
sebagai potensi kehidupan. Potensi kehidupan ini akan mendorong manusia
untuk memenuhi kebutuhannya tersebut dan berperilaku. Potensi kehidupan
memiliki dua penampakan, yaitu kebutuhan fisik (al-hajat al-udhuwiyahI) dan naluri (gharizah).
Keduanya memerlukan pemenuhan, cara dan alat pemuas yang tepat dan
sesuai dengan jenis kebutuhan, serta memiliki penampakan yang berbeda
pula dalam hal implementasi pemenuhannya. Kebutuhan fisik merupakan
kebutuhan yang lahir karena adanya kerja struktur organ tubuh manusia.
Kebutuhan fisik memiliki ciri-ciri: muncul dari dalam diri manusia tanpa
membutuhkan rangsangan dari luar; membutuhkan jenis zat tertentu dengan
kadar tertentu pula; jika tidak terpenuhi berakibat kerusakan organ
tubuh, penyakit atau kematian. Sedangkan naluri adalah khasiyat
dalam diri manusia agar manusia dapat mempertahankan eksistensi,
keturunan dan mencari petunjuk berkenaan dengan keberadaan Sang
Pencipta. Manusia pada dasarnya memiliki tiga jenis naluri yaitu: (1)
Naluri mempertahankan diri (gharizatu al-baqa’), (2) Naluri seksual (gharizatu an-nau’), dan (3) Naluri beragama (gharizatu at-tadayyun).
Untuk menempatkan seberapa jauh kebutuhan manusia harus dipenuhi, maka
penting bagi kita untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Meski
setiap orang berbeda, namun semua orang memiliki kebutuhan (baik
primer, sekunder maupun tersier) yang terbatas, serta keinginan yang
tidak terbatas. Maka disinailah pentingnya mendudukkan posisi manusia
secara benar dalam ilmu dan sistem ekonomi agar ketersediaan sumber daya
yang ada di alam ini tidak dijadikan sebagai permasalahan utama
ekonomi.
Mengenai
pengelolaan sumber daya alam, buku ini menjelaskan bahwa segala sumber
daya tersebut ditundukkan oleh Allah untuk diserahkan pengelolaannya
kepada manusia (QS. Al-Baqarah: 29). Namun, penundukan sumber daya
tersebut bukan untuk diserahkan kepemilikannya kepada manusia secara
mutlak. Hanya Allah-lah satu-satunya pemilik hakiki atas sumber daya
tersebut dan manusia diberikan wewenang untuk mengusahakan dan
memanfaatkan sumber daya yang telah dianugrahkan oleh Allah tersebut.
Manusia tidak dapat berbuat semaunya hingga dapat menimbulkan kerusakan
dan kerugian bagi dirinya, atau sumber daya itu sendiri. Sumber daya
tidak diartikan sebagai alat pemuas kesenangan dunia, namun merupakan
sarana mewujudkan kesejahteraan dunia dan akhirat. Oleh karena itu,
seorang pengemban amanat tidak akan menjadi seoarang yang buas, tanpa
aturan, egois, rakus, dan boros. Islam mendorong umatnya untuk bekerja
untuk mendapatkan harta dengan berbagai cara, asalkan mengikuti
rambu-rambu yang telah ditetapkan, antara lain: carilah yang halal lagi
baik, tidak menggunakan cara yang bathil, tidak
berlebih-lebihan/melampaui batas, tidak dizhalimi maupun menzhalimi,
menjauhkan diri dari unsur riba, maisir (perjudian dan intended speculation), dan gharar (ketidakjelasan
dan manipulatif), serta tidak melupakan tanggung jawab sosial seperti
zakat, infaq dan sedekah. Penyeimbangan aspek dunia dan akhirat tersebut
merupakan karakteristik unik sistem ekonomi Islam. Perpaduan unsur
material dan spritual ini tidak dijumpai dalam sistem perekonomian lain,
baik kapitalis maupun sosialis.
Sistem
ekonomi mencakup pembahasan tentang tata cara perolehan harta kekayaan
dan pemanfaatannya baik untuk kegiatan konsumsi maupun distribusi. Dalam
hukum syara’ dijelaskan bagaimana seharusnya harta kekayaan (barang dan
jasa) diperoleh, juga menjelaskan bagaimana manusia mengelola
(mengonsumsi dan mengembangkan) harta serta bagaimana mendistribusikan
kekayaan yang ada. Inilah yang sesungguhnya dianggap oleh Islam sebagai
masalah ekonomi bagi suatu masyarakat. Atas dasar ini, maka asas-asas
ekonomi Islam yang digunakan untuk membangun sistem ekonomi berdiri di
atas asas (fundamental) yaitu: bagaimana harta diperoleh yakni
menyangkut hak milik (tamalluk), pengelolaan (tasharruf)
hak milik, serta distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Ekonomi Islam
memiliki kekhasan, baik dalam tataran konsep maupun operasionalnya.
Adapun pengertian mengenai asumsi dasar ekonomi Islam mencakup tiga hal,
yaitu: naluri manusiawi, materi, dan hak milik.
Pada
bab selanjutnya, dijelaskan mengenai konsep hak milik pribadi. Menurut
istilah syar’i harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan
pada sesuatu yang legal menurut hukum syara’ (hukum Islam) seperti jual
beli, pinjaman, dan lain-lain. Namun, hakekat kepemilikan harta antra
lain Allah adalah pencipta dan pemilik harta yang hakiki, harta adalah
fasilitas bagi kehidupan manusia, serta Allah menganugerahkan
kepemilikan harta kepada manusia. Syariat Islam mengajarkan kepada
manusia agar menikmati kebahagiaan dan kehidupan di dunia. Dorongan
memperoleh harta secara berkecukupan bukanlah sesuatu yang hina, karena
memang Allah menempatkan harta sebagai perhiasan dan kesenangan. Namun
perlu diingat juga bahwa harta bukanlah sebagai alat untuk
bersenang-senang semata. Harta merupakan ujian kenikmatan dari Allah
untuk menguji hamba-Nya, apakah dengan harta itu mereka bersyukur atau
menjadi kufur.
Harta
milik umum adalah harta yang telah ditetapkan hak miliknya oleh
Asy-syari’ (Allah), dan menjadikan harta tersebut sebagai milik bersama.
Terdapat tiga jenis harta milik umum, yaitu : barang tambang (sumber
alam) yang jumlahnya tak terbatas, sarana-sarana umum yang diperlukan
oleh seluruh umat dalam kehidupan sehari-hari, harta-harta yang keadaan
asalnya terlarang bagi pribadi tertentu untuk memilikinya. Sedangkan hak
milik negara didefinisikan sebagai harta hak seluruh umat yang
pengelolaannya menjadi wewenang kepala negara, dimana dia bisa
memberikan sesuatu kepada sebagian umat, sesuai dengan kebijakannya.
Yang termasuk harta milik negara adalah padang pasir, tanah endapan
sungai, Ash- Shawafi (tanah yang dikumpulkan Khalifah dari tanah-tanah
negeri taklukan dan ditetapkan untuk baitul mal), bangunan dan
balairung.
Seseorang
yang memanfaatkan barang yang dimiliki orang lain harus memberikan
kesempatan atas pemanfaatan tersebut. Allah Swt. Memberikan izin kepada
seseorang untuk memiliki suatu harta kekayaan juga berarti memberikan
izin dan hak kepada pemiliknya untuk mengelola sesuai dengan
keinginannya selama memenuhi ketentuan-ketentuan syara’.meski seseorang
berstatus memiliki barang, namun ketentuan syara’ ini mengikat bagi
setiap individu serta memberikan implikasi hukum atas pelanggaran yang
dilakukan. Negara akan mengawasi pelaksanaan dan pemanfaatan harta
kekayaan oleh warga negaranya dan dapat mengambil kembali wewenang
pemanfaatan atas harta yang telah dimilikinya. Ketentuan pertama dalam
Syariah tentang kepemilikan ialah kekayaan dilarang untuk dimiliki
kecuali untuk dimanfaatkan. Tindakan memiliki harta dan dibiarkan tidak
dinikmati jika dilaksanakan oleh setiap individu dalam masyarakat akan
menyebabkan produktivitas dan perekonomian menjadi terganggu. Adapun
penggunaan harta yang dihalalkan ditetapkan dalam beberapa hal, yaitu :
zakat, nafkah untuk diri sendiri dan orang-orang yang wajib dinafkahi,
silaturahim dengan saling memberi hadiah, sedekah kepada fuqara dan
mereka yang membutuhkan, infak untuk kegiatan dakwah Islam. Seorang
Muslim wajib menghindar dari memanfaatkan harta di jalan haram, di
antaranya: untuk keperluan konsumsi barang dan jasa yang haram, untuk
membiayai tindak kejahatan, menyuap, dan judi. Selain itu juga terdapat
penggunaan harta yang diharamkan, antara lain karena haram zatnya, haram
selain zatnya (tadlis, taqtir, ihtikar, gharar, riba, israf dan
tabdzir), dan tidak sah akadnya.
Berkenaan
dengan masalah pembelanjaan atau nafkah, dalam buku ini disebutkan
bahwa Islam telah memberikan tuntunan yang harus dijadikan pedoman bagi
setiap Muslim. Pedoman-pedoman pokok yang harus dipegang pada saat akan
membelanjakan harta adalah bahwa kita harus mengetahui skala prioritas
yang benar agar pembelanjaan itu mendatangkan keberkahan. Jika kita
mengkaji hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan masalah nafkah ini,
akan kita temukan bahwa prioritas utama pembelanjaan harta adalah untuk
melaksanakan kewajiban, kemudian amalan sunnah baru kemudian aktivitas
yang mubah. Sedangkan aktivitas yang hukumnya makruh sebaiknya kita
tinggalkan apalagi aktivitas yang haram maka tentunya harus
ditinggalkan.
Salah
satu cara pengembangan dan pemanfaatan harta milik pribadi adalah
dengan berbagai transaksi bisnis secara Syariah. Hal terpenting yang
harus diperhatikan dalam bertransaksi secara Syariah adalah akad
transaksinya. Akad transaksi dibedakan menjadi dua macam, yaitu akad
tabarru’ dan akad tijarah. Yang termasuk akad tabarru’ antara lain:
qardh, rahn, hiwalah, wakalah, wadiah, kafalah, hibah, dan wakaf.
Sedangkan yang akad tijarah dibedakan lagi menjadi: (a) bai’ (murabahah,
salam, dan istisna’), ijarah, sharf, serta (b) musyarakah (muwafadah,
inan, wujuh, abdan, mudharabah, muzara’ah, muzaqah, dan mukhabarah).
Hukum dari syirkah adalah ja’iz (mubah), dan rukun syirkah yang pokok ada tiga, yaitu : (a) akad (ijab qobul), disebut juga shighat; (b) dua pihak yang berakad (’aqidani); (c) objek akad (mahal), disebut juga ma’qud ’alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mal).
Harta
milik umum dan pendapatannya adalah milik seluruh kaum Muslim, dan
mereka berserikat di dalamnya, oleh karena itu berarti setiap individu
rakyat mempunyai hak untuk memperoleh manfaat dari harta milik umum dan
pendapatannya. Tidak ada perbedaan apakah individu rakyat tersebut
laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, orang saleh ataupun
orang jahat. Pemanfaatan harta milik umum ini sendiri tidak sama. Ada
yang sangat mudah dimanfaatkan oleh manusia secara langsung maupun
menggunakan alat. Ada pula yang tidak mudah dimanfaatkan secara
langsung.
Pinjaman
dari negara-negara asing dan lembaga keuangan internasional tidak
diperbolehkan oleh hukum syara’, karena pinjaman itu nantinya akan
terkait dengan riba dan syarat-syarat tertentu, riba diharamkan dalam
hukum syara’, baik berasal dari seseorang ataupun dari suatu negara.
Sedangkan persyaratan-persyaratan yang menyertai pinjaman itu nantinya
pihak negara-negara atau lembaga-lembaga tersebut akan berkuasa atas
kaum Muslim. Akibatnya keinginan dan segala keperluan kaum Muslim
tergadai pada keinginan negara-negara atau lembaga-lembaga pemberi
pinjaman, maka dari itu tidak diperbolehkan secara syar’i.
Pemanfaatan
kepemilikan negara yang dilakukan oleh baitul mal ditetapkan
berdasarkan enam kaidah, yaitu: (1) harta yang menjadi kas tersendiri di
baitul mal, yaitu harta zakat; (2) baitul mal sebagai pihak yang berhak akibat terjadinya kekurangan, atau untuk melaksanakan kewajiban jihad; (3) baitul mal sebagai
pihak yang berhak karena suatu kompensasi, yaitu adanya harta yang
menjadi hak orang-orang sebagai upah atas pemberian jasa; (4) baitul mal sebagai pihak yang berhak, dan pembelanjaannya untuk suatu kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan sebagai kompensasi apa pun; (5) baitul mal sebagai
pihak yang berhak, dan pembelanjaannya diserahkan karena adanya
kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan sebagai kompensasi apa pun; (6)hak
pembelanjaannya karena adanya unsur keterpaksaan semisal ada peristiwa
yang menimpa kaum Muslimin, maka hak pembelanjaannya tidak ditentukan
berdasarkan adanya harta di mana pembiayaannya merupakan hak yang paten,
baik pada saat harta tersebut ada maupun tidak.
Sistem
ekonomi Islam membedakan istilah pengembangan harta dengan pengembangan
kepemilikan. Istilah pengembangan harta terikat dengan metode dan
faktor produksi yang dipergunakan untuk menghasilkan harta. Lain halnya
dengan istilah pengembangan kepemilikan harta yang terkait dengan suatu
mekanisme yang dipergunakan oleh seseorang untuk menghasilkan
pertambahan kepemilikan tersebut. Sistem ekonomi Islam tidak membahas
maslah pengembangan harta, melainkan hanya membahas tentang pengembangan
kepemilikan. Dalam hal ini, Islam menyerahkan maslah pengembangan harta
tersebut, kepada individu agar mengembangkannya dengan metode dan
faktor produksi apa saja yang menurutnya layak dipergunakan untuk
mengembangkan harta tersebut. Di sisi lain, Islam membahas dan mengatur
masalah pengembangan kepemilikan harta dengan seperangkat hukum-hukum
yang terkait dengannya (hukum syara’).
Harta
yang telah dimiliki oleh individu, bagaimana cara memanfaatkannya,
ternyata juga diatur oleh sistem ekonomi Islam. Pemanfaatan tersebut ada
dua macam, yaitu: harta tersebut dikembangkan lagi (produktif) atau
harta tersebut digunakan secara langsung (konsumtif). Dari dua jenis
pengaturan pemanfaatan harta tersebut yang dapat dikategorikan akan
berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Pengaturan yang bersifat produktif,
yaitu: aturan pengembangan kepemilikan. Dari aturan pengembangan
kepemilikan tersebut dibedakan lagi menjadi pengembangan kepemilikan
yang dihalalkan dan yang diharamkan.
Terdapat
tiga bentuk cara pengembangan kepemilikan, yaitu pertanian,
perdagangan, dan industri. Mekanisme untuk meningkatkan kepemilikan
seseorang atas harta menjadi topik pembahasan di dalam sistem ekonomi,
sedangkan pertanian, perdagangan, dan industri merupakan metode dan
faktor produksi yang dipergunakan untuk menghasilkan harta. Pengembangan
kepemilikan terikat dengan hukum-hukum yang telah dibawa oleh syara’,
yaitu hukum-hukum tanah, dan masalah-maslah yang terkait dengan
hukum-hukum pertanahan, hukum-hukum jual-beli, perseroan, dan
masalah-maslah yang terkait dengan hukum tersebut, serta hukum-hukum
tentang ajiir dan produksi.
Tiap
individu yang memiliki tanah akan dipaksa untuk mengelola tanahnya
secara optimal. Jika terjadi kesulitan modal dan fasilitas, negara dalam
hal ini baitul mal akan membantu memberikan modal sehingga individu
yang bersangkutan dapat mengelolanya secara optimal. Untuk mencegah
optimalisasi pemanfaatan lahan tanah pertanian, Islam telah menetapkan
jangka waktu. Pengabaian atau menelantarkan tanah yang dimilikinya
selama tiga tahun akan menyebabkan hak atas tanah dicabut oleh negara
dan akan diberikan kepada individu lain yang mempu mengolahnya.
Allah
Swt. Telah menjadikan harta sebagai salah satu sebab tegaknya
kemaslahatan manusia di dunia. Untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut,
Allah Swt. telah mensyariatkan cara perdagangan tertentu. Dalam hal
perdagangan, Islam juga memberikan kebebasan atas jenis harta yang
diperdagangkan, termasuk penentuan harga yang diserahkan sepenuhnya
kepada kedua belah pihak yang melakukan yang melakukan transaksi dengan
prinsip saling ridha, sehingga mekanisme perdagangan dapat berjalan
secara sehat. Adanya kebebasan baik pada jenis barang maupun penentuan
harga tersebut diharapkan dapat menggairahkan sekaligus mendorong
manusia untuk berdagang tanpa ada gangguan (misal pemerintah), dan
tentunya diharapkan akan dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Perdagangan
ada dua macam, yaitu perdagangan yang halal (bai’ atau jual beli) dan
perdagangan yang haram (riba). Perdagangan itu hukumnya mubah. Dan
perdagangan tersebut merupakan salah satu bentuk pengembangan
kepemilikan. Ketentuannya juga sangat jelas dan telah dinyatakan di
dalam Alquran dan Al-Hadits.
Berproduksi (istishna’)
adalah apabila ada seseorang memproduksi bejana, mobil atau apa saja
yang termasuk dalam kategori produksi. Berproduksi itu hukumnya mubah
dan jelas berdasarkan sunnah. Industri yang dimaksud disini adalah
segala bentuk usaha untuk mengubah suatu bentuk barang menjadi barang
lain yang lebih berguna sehingga mempunyai nilai jual yang lebih tinggi.
Berkaitan dengan indutri ini, Islam hanya memberi ketentuan aturan yang
berkaitan dengan permaslahan industri tersebut, di antaranya: hukum syirkah (perseroan), ijarah (perupahan), jual beli, termasuk perdagangan luar negeri.
Sebagai alat tukar (medium of exchange), uang menurut ajaran Islam tidak boleh ditimbun (kanz bukan idzkhar),
tetapi harus dimanfaatkan agar berputar menggerakkan roda perekonomian
masyarakat. Ada dua arah pemanfaatan uang, yaitu digunakan untuk membeli
barang atau jasa, dan dikembangkan dlam berbagai bentuk usaha agar
jumlahnya semakin banyak. Bila memiliki kemampuan usaha, tentu orang
yang mempunyai uang tadi bisa memutar uangnya sendiri. Bila tidak, ia
bisa bekerja sama dengan orang lain yang mampu berusaha. Bila modalnya
kurang, ia bisa bekerja sama dengan orang lain lagi untuk menambah
modal. Sementara orang yang punya keahlian atau kemampuan serta
kesempatan untuk berusaha, tetapi tidak memiliki dana; atau kemampuan
yang dimilikinya masih kurang, bisa bekerja sama dengan orang lain yang
memiliki dana atau keahlian. Adapaun kerja sama (syarikah) yang diperbolehkan dalam Islam, antara lain perseroan terbatas (syirkah bathil) dan tanggung jawab terbatas.
Dalam
rangka mendukung terjadinya proses pertumbuhan ekonomi, Islam juga
memberikan kebebasan bagi warga negaranya (baik yang Muslim maupun kafir dzimmi)
untuk melakukan transaksi perdagangan antarnegara. Utnuk melakukan
transaksi itu tidak diperlukan izin atau lisensi khusus, baik untuk
melakukan ekspor maupun impor. Demikian juga negara tidak akan menarik
cukai atas barang yang masuk ataupun ke luar negeri, karena pengambilan
cukai hukumnya haram. Sedangkan bagi selain warga negara, tidak
diperbolehkan untuk memasuki negara, tidak boleh memasukkan barang atau
mata uang kecuali dengan izin khusus, yaitu izin ekspor dan lisensi
penjualan mata uang. Bagi mereka juga dipungut bea masuk (cukai) yang
besarnya sesuai dengan yang dipungut ketika warga negara memasukkan
barang di negara mereka. Dengan adanya pengaturan tersebut diharapkan
setiap warga negara mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk
mengembangkan perdagangannya sehingga diharapkan pertumbuhan ekonomi
dapat terus meningkat.
Sebagai
sebuah prinsip dasar, Islam mengatur cara perolehan, pengembangan, dan
pemanfaatan harta. Pengembangan harta hanya boleh dilakukan dengan cara
yang dibenarkan syara’, mencakup usaha pertanian, perdagangan, dan
bidang jasa yang halal. Di luar itu, misalnya dengan cara membungakan
uang, termasuk kategori terlarang (haram). Allah telah mengharamkan riba
dan menghalalkan jual beli. Secara makro, sebuah tatanan ekonomi
masyarakat yang ditopang dengan sistem ribawi tidak akan pernah
betul-betul sehat. Kalaupun sekarang tampak sehat, ia sesungguhnya
tengah menuju ke satu titik kolaps dari sebuah siklus krisis ekonomi, di
mana kemajuan ekonomi yang dialami terus-menerus selama beberapa tahun
akan berbalik dan terhenti. Dr. Thahir Abdul Muhsin dalam bukunya menyelesaikan Krisis Ekonomi Dengan Cara Islam
menyebut bahwa bunga bank merupakan salah satu sumber labilitas
perekonomian dunia. Alquran menyebut perekonomian ribawi sebagai orang
yang tidak bisa berdiri tegak melainkan secara limbung bagaikan orang
yang kemasukan setan. Dan orang-orang yang tetap mengambil riba setelah
riba larangan dari Allah, maka diancam akan dimasukkan neraka. Selain
riba, aturan hak milik yang diharamkan dalam Islam adalah perjudian,
penimbunan, penipuan (ghabdn), penipuan (tadlis) dalam jual beli, perseroan-perseroan model kapitalis, bursa saham, dan menyewakan lahan pertanian.
Kesenjangan
dan kemiskinan pada dasarnya muncul karena mekanisme distribusi yang
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Permasalahan ini terjadi karena
adanya penyimpangan distribusi yang secara akumulatif berakibat
pada kesenjangan kesempatan memperoleh kekayaan. Yang kaya akan semakin
kaya dan yang miskin semakin tidak memiliki kesempatan bekerja.
Kesalahan menjalankan kebijakan sistem ekonomi termasuk mekanisme
distribusi inilah yang menyebabkan munculnya praktik monopoli dan
individualis, sekaligus rusaknya pengelolaan hak milik pribadi, milik
umum dan negara. Padahal pada hakekatnya, semua pribadi dalam masyarakat
harus memperoleh jaminan atas kehidupan yang layak. Atas dasar ini,
Islam menjamin kehidupan tiap pribadi agar tetap sebagai komunitas yang
mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Islam juga menjamin kemaslahatan
pribadi dan melayani urusan jama’ah, serta menjaga eksistensi negara
dengan kekuatan yang cukup sehingga mampu memikul tanggung jawab
perekonomian negara.
Masalah
ekonomi terjadi apabila kebutuhan pokok untuk semua pribadi manusia
tidak tercukupi. Dan masalah pemenuhan kebutuhan pokok merupakan
persoalan distribusi kekayaan. Dalam persoalan distribusi yang muncul,
Islam melalui sistem ekonomi Islam menetapkan bahwa berbagai mekanisme
tertentu yang digunakan untuk mengatasi persoalan distribusi. Mekanisme
distribusi yang ada dalam sistem ekonomi Islam secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu (1) mekanisme ekonomi, dan (2)
mekanisme nonekonomi. Mekanisme ekonomi adalah mekanisme distribusi
yang mengandalkan kegiatan ekonomi dengan cara menetapkan kebijakan dan
ketentuan yang sesuai syara’ agar tercapai distribusi kekayaan. Namun
jika mekanisme ekonomi tidak dapat atau belum mampu berjalan untuk
mengatasi persoalan distribusi, baik karena sebab-sebab alamiah yang
menimbulkan kesenjangan ataupun kondisi-kondisi khusus,(misal bencana
alam), maka Islam memiliki sejulmlah mekanisme nonekonomi yang dapat
digunakan untuk mengatasi persoalan distribusi kekayaan tersebut. Dengan
demikian, dapat diketahui bahwa sistem ekonomi Islam sangat berbeda
dengan sistem ekonomi Kapitalis yang hanya mengandalkan mekanisme harga
(pasar) dalam mendistribusikan kekayaan di tengah masyarakat.
Dalam
mewujudkan distribusi kekayaan, maka mekanisme ekonomi yang ditempuh
pada sistem ekonomi Islam di antara manusia yang seadil-adilnya dengan
cara sebagai berikut: (1) membuka kesempatan seluas-luasnya bagi
berlangsungnya sebab-sebab hak milik dalam hak milik pribadi; (2)
memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan
hak milik melalui kegiatan investasi; (3) larangan menimbun harta benda
walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun pada gilirannya
akan menghambat distribusi karena tidak terjadi perputaran harta; (4) membuat
kebijakan agar harta beredar secara luas serta menggalakkan berbagai
kegiatan syirkah dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan; (5) larangan
kegiatan monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat menyebabkan
distorsi pasar; (6) larangan kegiatan judi, riba, korupsi, pemberian
suap, dan hadiah kepada penguasa; (7) pemanfaatan secara optimal (dengan
harga murah atau cuma-cuma) hasil dari barang-barang (SDA) milik umum
yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak,
listrik, air, dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.
Didukung
oleh sebab-sebab tertentu yang bersifat alamiah, seperti keadaan alam
yang tandus, badan yang cacat, akal yang lemah atau terjadi bencana
alam, dimungkinkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan terhambatnya
distribusi kekayaan kepada orang-orang yang memiliki faktor-faktor
produksi tersebut. Dengan mekanisme ekonomi biasa, maka distribusi tidak
akan berjalan dengan baik karena orang-orang yang memiliki hambatan
yang bersifat alamiah tadi tidak dapat mengikuti aturan kegiatan ekonomi
secara normal sebagaimana orang lain. Maka pendistribusian harta juga
dapat dilakukan dengan mekanisme nonekonomi sebagai berikut: (1)
pemberian negara kepada rakyat yang membutuhkan; (2) pemberian zakat
oleh muzakki kepada mustahik; (3) pembagian warisan; (4)
pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah, dan hadiah; (5) ganti rugi
terhadap kejahatan yang dilakukan seseorang kepada orang lain; dan (6)
pengelolaan barang temuan. Namun, untuk mewujudkan distribusi kekayaan
secara adil tidaklah mudah. Salah satu faktor penghambat distribusi
yaitu adanya penimbunan emas dan perak. Oleh sebab itu, pengaturan
mekanisme pemerataan oleh negara terbagi menjadi tiga aspek, yaitu baitu
mal (mengurusi sektor pemilikan pribadi, umum, dan negara), mata uang,
dan memperhatikan hal-hal yang diharamkan (berkaitan dengan mata uang,
luar negeri, dan lain-lain).
Dalam
penutup buku ini, terdapat satu pokok bahasan mengenai tatanan ekonomi
Islam yang universal. Masih banyak kaum Muslimin yang tidak dapat
m,enbedakan antara hukum-hukum Islam tentang pemikiran dan metode (afkar
dan thoriqah). Sebab, tidak ada kitab-kitab fiqih yang disusun dengan
memberikan uraian seperti ini. Keadaan ini tampak apabila umat Islam
berusaha untuk menyelesaikan krisis moneter, antara lain dengan berdoa
bersama, shalat hajat barjamaah, dan sebagainya. Bahkan untuk
membuktikan siapa yang benar dalam kasus gugatan dan tuduhan, ada
beberapa pemimpin di dunia Islam yang menganjurkan shalat hajat. Semua
ini menunjukkan betapa minimnya pemahaman kaum Muslimin tentang metode
hukum Islam. Oleh sebab itu, perlu pembahasan mengenai metode
hukum-hukum Islam secara sepenuhnya. Selain itu, karena Islam merupakan
sistem kehidupan, maka semua komponen yang terkandung di dalamnya harus
dikaji secara utuh, jangan hanya sebagian saja, karena hal ini dapat
menimbulkan kekacauan, bahkan dapat menyebabkan kekufuran bagi orang
yang bersangkutan. Terdapat tiga asas penerapan hukum Islam yang ada di
dalam kehidupan umat, yaitu: (1) ketakwaan individu yang mendorongnya
untuk terikat kepada hukum syara’; (2) pengawasandan koreksi masyarakat;
dan (3) negara yang menerapkan syariat Islam secara utuh. Apabila salah
satu asas ini telah runtuh, maka penerapan syariat Islam dan
hukum-hukumnya akan mengalami penyimpangan, dan akibatnya Islam, sebagai
agama dan ideologi, akan hilang dari muka bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar