Sabtu, 05 Mei 2012

Asas-Asas Ekonomi Islam


Judul Buku  : Asas-Asas Ekonomi Islam
Penulis         : M. Sholahuddin, S.E., M.Si.
Penerbit       : PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Tahun Terbit       : 2007
Jumlah Halaman : 311 halaman

 Dalam pendahuluan buku ini, M. Sholahuddin terlebih dahulu menjelaskan mengenai definisi ekonomi. Manusia sebagai faktor utama dalam setiap pengembangan disiplin ilmu, selalu dijadikan sebagai objek dalam suatu kajian-kajian ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, ataupun psikologi. Pandangan manusia sebagai pelaku ekonomi, kebutuhan manusia, perilaku ekonomi manusia termasuk pilihan perilaku maupun dorongan perilaku manusia, secara khusus, berpengaruh kepada perkembangan ilmu dan sistem ekonomi dalam kurun waktu terakhir ini. Perbedaan pandangan terhadap manusia ini telah melahirkan berbagai pemikiran tentang masalah ekonomi dan solusi yang ditawarkan. Menurut Samuelson dan Nordhaus, ekonomi didefinisikan sebagai perilaku masyarakat dalam menggunakan sumber daya yang terbatas (langka) dalam rangka memproduksi berbagai komoditi, untuk kemudian disalurkan (didistribusikan) komoditi tersebut kepada berbagai individu/personal dan kelompok yang ada dalam suatu masyarakat. Dalam perspektif Islam, An-Nabhani (1986) mengambil makna istilah ekonomi sebagai kegiatan mengatur urusan harta kekayaan, baik yang menyangkut kepemilikan, pengembangan, maupun distribusi. Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ekonomi dan manusia adalah suatu perpaduan dan bersesuaian satu sama lain.
Selanjutnya, juga dijelaskan tentang definisi ekonomi Islam. Para ahli telah banyak mendefinisikan tentang apa yang dimaksud dengan ekonomi Islam, yang intinya ekonomi Islam merupakan suatu ilmu pengetahuan yang berupaya memandang, meninjau, meneliti yang pada akhirnya menyimpulkan dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara islami. Yang dimaksud dengan cara-cara yang islami disini ialah metode-metode yang didasarkan atas ajaran agama Islam. Menurut pengertian ini, maka istilah yang sering digunakan adalah ekonomika Islam atau ilmu ekonomi islami yang menitikberatkan segala aspek ontologinya pada ajaran agama Islam. Menurut Jati (2004), terdapat dua bagian besar dalam ekonomi yang harus dipisahkan, yaitu ilmu ekonomi dan sistem ekonomi. Hal ini ada karena ada dua realitas yang tidak sama. Yang paling tepat dikategorikan sebagai ilmu ekonomi, pertama, yaitu pengaturan urusan masyarakat dari segi pemenuhan harta kekayaan dan kegiatan untuk memperbanyak jumlah barang dan jasa serta bagaimana strategi untuk menjaga pengadaannya (produksi). Kedua, sama sekali tidak dipengaruhi oleh banyak dan sedikitnya harta kekayaan, tetapi hanya berhubungan dengan tata kerja (mekanisme) pendistribusiannya. Pemahaman seperti ini akan membawa kita agar tidak terjebak dalam wacana Islamisasi pengetahuan. Pakar Ekonomi Islam tidak perlu membuang semua teori yang telah berhasil dikembangkan.Yang diperlukan ialah melakukan internalisasi nilai-nilai Islam dalam rangka turut mengembangkan keberadaan dari ilmu ekonomi.
Menurut Ismail (1993), kajian mengenai manusia telah banyak ditulis dengan sudut pandang dan cara analisis yang beragam, yang sebagian besar menitikberatkan pada pola pikir sains (metode ilmiah) dan pola pikir rasional (metode rasional). Metode ilmiah banyak digunakan ilmuwan untuk meneliti hakikat sesuatu dengan melakukan eksperimen terhadap obyek yang akan diteliti. Ciri khas metode ini adalah mengesampingkan kebenaran informasi yang telah ada yang dibangun oleh ilmuwan sebelumnya, kebenaran ini akan diterima setelah didapatkan kembali sebuah bukti dalam eksperimen yang telah dilakukan. Kesimpulan dari hasil studi metode ilmiah disebut sebagai realitas ilmiah atau teori ilmiah, yang masih memiliki kemungkinan unsur kesalahan, bersifat praduga tidak pasti, meski disebut ilmiah. Sedangkan metode rasional sebenarnya adalah proses pemikiran melalui pencermatan realitas dengan indra. Dalam praktiknya, metode ini yang paling sering digunakan karena dapat dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja. Hasil metode ini dapat mengandung dua kemungkinan yaitu (a) jika kesimpulan itu berkaitan tentang ”ada” atau ”tidak ada” sesuatu, maka ia bersifat pasti dan tidak mengandung unsur kesalahan, kemudian (b) apabila berkaitan dengan hakikat atau fenomena sesuatu, maka hasil metode ini bersifat tidak pasti dan mungkin mengandung kesalahan.
Dalam konsep Islam, semua sistem kehidupan yang di dalamnya termasuk sistem ekonomi harus dibangun dengan sebuah kebenaran. Diambil dari sumber yang benar, dikaji dan diterapkan secara benar pula. Akidah Islam menuntut seorang Muslim untuk berupaya mencari kebenaran hakiki. Metode berpikir manusia dapat diluruskan, dengan berbekal informasi yang disampaikan dalam Alquran. Kebenaran wahyu Allah kemudian akan menuntun keterbatasan akal pikiran manusia. Allah menjelaskan berbagai potensi kehidupan manusia berupa akal, kebutuhan fisik dan naluri. A.M. Saefuddin (1987) mengemukakan bahwa pandangan ilmu ekonomi tentang manusia sekarang ini sarat dengan kultur Barat sehingga perlu diganti dengan hono Islamicus. Barat menetapkan manusia sebagai ”homo economicus” (makhluk ekonomi), yang dalam hidupnya hanya berfokus pada materi, tidak peduli soal moral ataupun agama. Mereka hanya memperhatikan keuntungan materi dengan prinsip ”mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan biaya seminimal mungkin”, yang merupakan pandangan materialistik sekularistik. Sedangkan Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan memuaskan akal manusia. Dalam hal ini, Islam telah mendorong manusia untuk menggunakan rasio atau kemampuan pikirnya untuk memahami sesuatu yang dapat dilihat secara indrawi. Keberadaan Allah, kebenaran Alquran, dan kerasulan Muhammad SAW., keberadaan kebutuhan fisik dan naluri manusia, keterbatasan manusia, dan lain sebagainya, dapat dipahami dengan metode rasional. Sedangkan terhadap sesuatu yang ghaib atau mengenai hakikat sesuatu yang tidak dapat diindra oleh manusia, maka hal tersebut dapat diketahui melalui informasi yang telah teruji kebenarannya (dalil naqli) secara rasional pula, yaitu Alquran dan Al-Hadits.
Manusia dari segi fitrahnya, diciptakan dengan beragam tuntutan dan kebutuhan hidup yang dapat dibuktikan karena dapat diindra dan dirasakan langsung dalam diri kita. Allah menganugrahkan keberadaan fitrah tersebut yang memungkinkan manusia agar mampu bertahan hidup. Fitrah tersebut muncul sebagai potensi kehidupan. Potensi kehidupan ini akan mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhannya tersebut dan berperilaku. Potensi kehidupan memiliki dua penampakan, yaitu kebutuhan fisik (al-hajat al-udhuwiyahI) dan naluri (gharizah). Keduanya memerlukan pemenuhan, cara dan alat pemuas yang tepat dan sesuai dengan jenis kebutuhan, serta memiliki penampakan yang berbeda pula dalam hal implementasi pemenuhannya. Kebutuhan fisik merupakan kebutuhan yang lahir karena adanya kerja struktur organ tubuh manusia. Kebutuhan fisik memiliki ciri-ciri: muncul dari dalam diri manusia tanpa membutuhkan rangsangan dari luar; membutuhkan jenis zat tertentu dengan kadar tertentu pula; jika tidak terpenuhi berakibat kerusakan organ tubuh, penyakit atau kematian. Sedangkan naluri adalah khasiyat dalam diri manusia agar manusia dapat mempertahankan eksistensi, keturunan dan mencari petunjuk berkenaan dengan keberadaan Sang Pencipta. Manusia pada dasarnya memiliki tiga jenis naluri yaitu: (1) Naluri mempertahankan diri (gharizatu al-baqa’), (2) Naluri seksual (gharizatu an-nau’), dan (3) Naluri beragama (gharizatu at-tadayyun). Untuk menempatkan seberapa jauh kebutuhan manusia harus dipenuhi, maka penting bagi kita untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Meski setiap orang berbeda, namun semua orang memiliki kebutuhan (baik primer, sekunder maupun tersier) yang terbatas, serta keinginan yang tidak terbatas. Maka disinailah pentingnya mendudukkan posisi manusia secara benar dalam ilmu dan sistem ekonomi agar ketersediaan sumber daya yang ada di alam ini tidak dijadikan sebagai permasalahan utama ekonomi.
Mengenai pengelolaan sumber daya alam, buku ini menjelaskan bahwa segala sumber daya tersebut ditundukkan oleh Allah untuk diserahkan pengelolaannya kepada manusia (QS. Al-Baqarah: 29). Namun, penundukan sumber daya tersebut bukan untuk diserahkan kepemilikannya kepada manusia secara mutlak. Hanya Allah-lah satu-satunya pemilik hakiki atas sumber daya tersebut dan manusia diberikan wewenang untuk mengusahakan dan memanfaatkan sumber daya yang telah dianugrahkan oleh Allah tersebut. Manusia tidak dapat berbuat semaunya hingga dapat menimbulkan kerusakan dan kerugian bagi dirinya, atau sumber daya itu sendiri. Sumber daya tidak diartikan sebagai alat pemuas kesenangan dunia, namun merupakan sarana mewujudkan kesejahteraan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, seorang pengemban amanat tidak akan menjadi seoarang yang buas, tanpa aturan, egois, rakus, dan boros. Islam mendorong umatnya untuk bekerja untuk mendapatkan harta dengan berbagai cara, asalkan mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan, antara lain: carilah yang halal lagi baik, tidak menggunakan cara yang bathil, tidak berlebih-lebihan/melampaui batas, tidak dizhalimi maupun menzhalimi, menjauhkan diri dari unsur riba, maisir (perjudian dan intended speculation), dan gharar (ketidakjelasan dan manipulatif), serta tidak melupakan tanggung jawab sosial seperti zakat, infaq dan sedekah. Penyeimbangan aspek dunia dan akhirat tersebut merupakan karakteristik unik sistem ekonomi Islam. Perpaduan unsur material dan spritual ini tidak dijumpai dalam sistem perekonomian lain, baik kapitalis maupun sosialis.
Sistem ekonomi mencakup pembahasan tentang tata cara perolehan harta kekayaan dan pemanfaatannya baik untuk kegiatan konsumsi maupun distribusi. Dalam hukum syara’ dijelaskan bagaimana seharusnya harta kekayaan (barang dan jasa) diperoleh, juga menjelaskan bagaimana manusia mengelola (mengonsumsi dan mengembangkan) harta serta bagaimana mendistribusikan kekayaan yang ada. Inilah yang sesungguhnya dianggap oleh Islam sebagai masalah ekonomi bagi suatu masyarakat. Atas dasar ini, maka asas-asas ekonomi Islam yang digunakan untuk membangun sistem ekonomi berdiri di atas asas (fundamental) yaitu: bagaimana harta diperoleh yakni menyangkut hak milik (tamalluk), pengelolaan (tasharruf) hak milik, serta distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Ekonomi Islam memiliki kekhasan, baik dalam tataran konsep maupun operasionalnya. Adapun pengertian mengenai asumsi dasar ekonomi Islam mencakup tiga hal, yaitu: naluri manusiawi, materi, dan hak milik.
Pada bab selanjutnya, dijelaskan mengenai konsep hak milik pribadi. Menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut hukum syara’ (hukum Islam) seperti jual beli, pinjaman, dan lain-lain. Namun, hakekat kepemilikan harta antra lain Allah adalah pencipta dan pemilik harta yang hakiki, harta adalah fasilitas bagi kehidupan manusia, serta Allah menganugerahkan kepemilikan harta kepada manusia. Syariat Islam mengajarkan kepada manusia agar menikmati kebahagiaan dan kehidupan di dunia. Dorongan memperoleh harta secara berkecukupan bukanlah sesuatu yang hina, karena memang Allah menempatkan harta sebagai perhiasan dan kesenangan. Namun perlu diingat juga bahwa harta bukanlah sebagai alat untuk bersenang-senang semata. Harta merupakan ujian kenikmatan dari Allah untuk menguji hamba-Nya, apakah dengan harta itu mereka bersyukur atau menjadi kufur.
Harta milik umum adalah harta yang telah ditetapkan hak miliknya oleh Asy-syari’ (Allah), dan menjadikan harta tersebut sebagai milik bersama. Terdapat tiga jenis harta milik umum, yaitu : barang tambang (sumber alam) yang jumlahnya tak terbatas, sarana-sarana umum yang diperlukan oleh seluruh umat dalam kehidupan sehari-hari, harta-harta yang keadaan asalnya terlarang bagi pribadi tertentu untuk memilikinya. Sedangkan hak milik negara didefinisikan sebagai harta hak seluruh umat yang pengelolaannya menjadi wewenang kepala negara, dimana dia bisa memberikan sesuatu kepada sebagian umat, sesuai dengan kebijakannya. Yang termasuk harta milik negara adalah padang pasir, tanah endapan sungai, Ash- Shawafi (tanah yang dikumpulkan Khalifah dari tanah-tanah negeri taklukan dan ditetapkan untuk baitul mal), bangunan dan balairung.
Seseorang yang memanfaatkan barang yang dimiliki orang lain harus memberikan kesempatan atas pemanfaatan tersebut. Allah Swt. Memberikan izin kepada seseorang untuk memiliki suatu harta kekayaan juga berarti memberikan izin dan hak kepada pemiliknya untuk mengelola sesuai dengan keinginannya selama memenuhi ketentuan-ketentuan syara’.meski seseorang berstatus memiliki barang, namun ketentuan syara’ ini mengikat bagi setiap individu serta memberikan implikasi hukum atas pelanggaran yang dilakukan. Negara akan mengawasi pelaksanaan dan pemanfaatan harta kekayaan oleh warga negaranya dan dapat mengambil kembali wewenang pemanfaatan atas harta yang telah dimilikinya. Ketentuan pertama dalam Syariah tentang kepemilikan ialah kekayaan dilarang untuk dimiliki kecuali untuk dimanfaatkan. Tindakan memiliki harta dan dibiarkan tidak dinikmati jika dilaksanakan oleh setiap individu dalam masyarakat akan menyebabkan produktivitas dan perekonomian menjadi terganggu. Adapun penggunaan harta yang dihalalkan ditetapkan dalam beberapa hal, yaitu : zakat, nafkah untuk diri sendiri dan orang-orang yang wajib dinafkahi, silaturahim dengan saling memberi hadiah, sedekah kepada fuqara dan mereka yang membutuhkan, infak untuk kegiatan dakwah Islam. Seorang Muslim wajib menghindar dari memanfaatkan harta di jalan haram, di antaranya: untuk keperluan konsumsi barang dan jasa yang haram, untuk membiayai tindak kejahatan, menyuap, dan judi. Selain itu juga terdapat penggunaan harta yang diharamkan, antara lain karena haram zatnya, haram selain zatnya (tadlis, taqtir, ihtikar, gharar, riba, israf dan tabdzir), dan tidak sah akadnya.
Berkenaan dengan masalah pembelanjaan atau nafkah, dalam buku ini disebutkan bahwa Islam telah memberikan tuntunan yang harus dijadikan pedoman bagi setiap Muslim. Pedoman-pedoman pokok yang harus dipegang pada saat akan membelanjakan harta adalah bahwa kita harus mengetahui skala prioritas yang benar agar pembelanjaan itu mendatangkan keberkahan. Jika kita mengkaji hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan masalah nafkah ini, akan kita temukan bahwa prioritas utama pembelanjaan harta adalah untuk melaksanakan kewajiban, kemudian amalan sunnah baru kemudian aktivitas yang mubah. Sedangkan aktivitas yang hukumnya makruh sebaiknya kita tinggalkan apalagi aktivitas yang haram maka tentunya harus ditinggalkan.
Salah satu cara pengembangan dan pemanfaatan harta milik pribadi adalah dengan berbagai transaksi bisnis secara Syariah. Hal terpenting yang harus diperhatikan dalam bertransaksi secara Syariah adalah akad transaksinya. Akad transaksi dibedakan menjadi dua macam, yaitu akad tabarru’ dan akad tijarah. Yang termasuk akad tabarru’ antara lain: qardh, rahn, hiwalah, wakalah, wadiah, kafalah, hibah, dan wakaf. Sedangkan yang akad tijarah dibedakan lagi menjadi: (a) bai’ (murabahah, salam, dan istisna’), ijarah, sharf, serta (b) musyarakah (muwafadah, inan, wujuh, abdan, mudharabah, muzara’ah, muzaqah, dan mukhabarah). Hukum dari syirkah adalah ja’iz (mubah), dan rukun syirkah yang pokok ada tiga, yaitu : (a) akad (ijab qobul), disebut juga shighat; (b) dua pihak yang berakad (’aqidani); (c) objek akad (mahal), disebut juga ma’qud ’alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mal).
Harta milik umum dan pendapatannya adalah milik seluruh kaum Muslim, dan mereka berserikat di dalamnya, oleh karena itu berarti setiap individu rakyat mempunyai hak untuk memperoleh manfaat dari harta milik umum dan pendapatannya. Tidak ada perbedaan apakah individu rakyat tersebut laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, orang saleh ataupun orang jahat. Pemanfaatan harta milik umum ini sendiri tidak sama. Ada yang sangat mudah dimanfaatkan oleh manusia secara langsung maupun menggunakan alat. Ada pula yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung.
Pinjaman dari negara-negara asing dan lembaga keuangan internasional tidak diperbolehkan oleh hukum syara’, karena pinjaman itu nantinya akan terkait dengan riba dan syarat-syarat tertentu, riba diharamkan dalam hukum syara’, baik berasal dari seseorang ataupun dari suatu negara. Sedangkan persyaratan-persyaratan yang menyertai pinjaman itu nantinya pihak negara-negara atau lembaga-lembaga tersebut akan berkuasa atas kaum Muslim. Akibatnya keinginan dan segala keperluan kaum Muslim tergadai pada keinginan negara-negara atau lembaga-lembaga pemberi pinjaman, maka dari itu tidak diperbolehkan secara syar’i.
Pemanfaatan kepemilikan negara yang dilakukan oleh baitul mal ditetapkan berdasarkan enam kaidah, yaitu: (1) harta yang menjadi kas tersendiri di baitul mal, yaitu harta zakat; (2) baitul mal sebagai pihak yang berhak akibat terjadinya kekurangan, atau untuk melaksanakan kewajiban jihad; (3) baitul mal sebagai pihak yang berhak karena suatu kompensasi, yaitu adanya harta yang menjadi hak orang-orang sebagai upah atas pemberian jasa; (4) baitul mal sebagai pihak yang berhak, dan pembelanjaannya untuk suatu kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan sebagai kompensasi apa pun; (5) baitul mal sebagai pihak yang berhak, dan pembelanjaannya diserahkan karena adanya kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan sebagai kompensasi apa pun; (6)hak pembelanjaannya karena adanya unsur keterpaksaan semisal ada peristiwa yang menimpa kaum Muslimin, maka hak pembelanjaannya tidak ditentukan berdasarkan adanya harta di mana pembiayaannya merupakan hak yang paten, baik pada saat harta tersebut ada maupun tidak.
Sistem ekonomi Islam membedakan istilah pengembangan harta dengan pengembangan kepemilikan. Istilah pengembangan harta terikat dengan metode dan faktor produksi yang dipergunakan untuk menghasilkan harta. Lain halnya dengan istilah pengembangan kepemilikan harta yang terkait dengan suatu mekanisme yang dipergunakan oleh seseorang untuk menghasilkan pertambahan kepemilikan tersebut. Sistem ekonomi Islam tidak membahas maslah pengembangan harta, melainkan hanya membahas tentang pengembangan kepemilikan. Dalam hal ini, Islam menyerahkan maslah pengembangan harta tersebut, kepada individu agar mengembangkannya dengan metode dan faktor produksi apa saja yang menurutnya layak dipergunakan untuk mengembangkan harta tersebut. Di sisi lain, Islam membahas dan mengatur masalah pengembangan kepemilikan harta dengan seperangkat hukum-hukum yang terkait dengannya (hukum syara’).
Harta yang telah dimiliki oleh individu, bagaimana cara memanfaatkannya, ternyata juga diatur oleh sistem ekonomi Islam. Pemanfaatan tersebut ada dua macam, yaitu: harta tersebut dikembangkan lagi (produktif) atau harta tersebut digunakan secara langsung (konsumtif). Dari dua jenis pengaturan pemanfaatan harta tersebut yang dapat dikategorikan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Pengaturan yang bersifat produktif, yaitu: aturan pengembangan kepemilikan. Dari aturan pengembangan kepemilikan tersebut dibedakan lagi menjadi pengembangan kepemilikan yang dihalalkan dan yang diharamkan.  
Terdapat tiga bentuk cara pengembangan kepemilikan, yaitu pertanian, perdagangan, dan industri. Mekanisme untuk meningkatkan kepemilikan seseorang atas harta menjadi topik pembahasan di dalam sistem ekonomi, sedangkan pertanian, perdagangan, dan industri merupakan metode dan faktor produksi yang dipergunakan untuk menghasilkan harta. Pengembangan kepemilikan terikat dengan hukum-hukum yang telah dibawa oleh syara’, yaitu hukum-hukum tanah, dan masalah-maslah yang terkait dengan hukum-hukum pertanahan, hukum-hukum jual-beli, perseroan, dan masalah-maslah yang terkait dengan hukum tersebut, serta hukum-hukum tentang ajiir dan produksi.
Tiap individu yang memiliki tanah akan dipaksa untuk mengelola tanahnya secara optimal. Jika terjadi kesulitan modal dan fasilitas, negara dalam hal ini baitul mal akan membantu memberikan modal sehingga individu yang bersangkutan dapat mengelolanya secara optimal. Untuk mencegah optimalisasi pemanfaatan lahan tanah pertanian, Islam telah menetapkan jangka waktu. Pengabaian atau menelantarkan tanah yang dimilikinya selama tiga tahun akan menyebabkan hak atas tanah dicabut oleh negara dan akan diberikan kepada individu lain yang mempu mengolahnya.
Allah Swt. Telah menjadikan harta sebagai salah satu sebab tegaknya kemaslahatan manusia di dunia. Untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut, Allah Swt. telah mensyariatkan cara perdagangan tertentu. Dalam hal perdagangan, Islam juga memberikan kebebasan atas jenis harta yang diperdagangkan, termasuk penentuan harga yang diserahkan sepenuhnya kepada kedua belah pihak yang melakukan yang melakukan transaksi dengan prinsip saling ridha, sehingga mekanisme perdagangan dapat berjalan secara sehat. Adanya kebebasan baik pada jenis barang maupun penentuan harga tersebut diharapkan dapat menggairahkan sekaligus mendorong manusia untuk berdagang tanpa ada gangguan (misal pemerintah), dan tentunya diharapkan akan dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Perdagangan ada dua macam, yaitu perdagangan yang halal (bai’ atau jual beli) dan perdagangan yang haram (riba). Perdagangan itu hukumnya mubah. Dan perdagangan tersebut merupakan salah satu bentuk pengembangan kepemilikan. Ketentuannya juga sangat jelas dan telah dinyatakan di dalam Alquran dan Al-Hadits.
Berproduksi (istishna’) adalah apabila ada seseorang memproduksi bejana, mobil atau apa saja yang termasuk dalam kategori produksi. Berproduksi itu hukumnya mubah dan jelas berdasarkan sunnah. Industri yang dimaksud disini adalah segala bentuk usaha untuk mengubah suatu bentuk barang menjadi barang lain yang lebih berguna sehingga mempunyai nilai jual yang lebih tinggi. Berkaitan dengan indutri ini, Islam hanya memberi ketentuan aturan yang berkaitan dengan permaslahan industri tersebut, di antaranya: hukum syirkah (perseroan), ijarah (perupahan), jual beli, termasuk perdagangan luar negeri.
Sebagai alat tukar (medium of exchange), uang menurut ajaran Islam tidak boleh ditimbun (kanz bukan idzkhar), tetapi harus dimanfaatkan agar berputar menggerakkan roda perekonomian masyarakat. Ada dua arah pemanfaatan uang, yaitu digunakan untuk membeli barang atau jasa, dan dikembangkan dlam berbagai bentuk usaha agar jumlahnya semakin banyak. Bila memiliki kemampuan usaha, tentu orang yang mempunyai uang tadi bisa memutar uangnya sendiri. Bila tidak, ia bisa bekerja sama dengan orang lain yang mampu berusaha. Bila modalnya kurang, ia bisa bekerja sama dengan orang lain lagi untuk menambah modal. Sementara orang yang punya keahlian atau kemampuan serta kesempatan untuk berusaha, tetapi tidak memiliki dana; atau kemampuan yang dimilikinya masih kurang, bisa bekerja sama dengan orang lain yang memiliki dana atau keahlian. Adapaun kerja sama (syarikah) yang diperbolehkan dalam Islam, antara lain perseroan terbatas (syirkah bathil) dan tanggung jawab terbatas.
Dalam rangka mendukung terjadinya proses pertumbuhan ekonomi, Islam juga memberikan kebebasan bagi warga negaranya (baik yang Muslim maupun kafir dzimmi) untuk melakukan transaksi perdagangan antarnegara. Utnuk melakukan transaksi itu tidak diperlukan izin atau lisensi khusus, baik untuk melakukan ekspor maupun impor. Demikian juga negara tidak akan menarik cukai atas barang yang masuk ataupun ke luar negeri, karena pengambilan cukai hukumnya haram. Sedangkan bagi selain warga negara, tidak diperbolehkan untuk memasuki negara, tidak boleh memasukkan barang atau mata uang kecuali dengan izin khusus, yaitu izin ekspor dan lisensi penjualan mata uang. Bagi mereka juga dipungut bea masuk (cukai) yang besarnya sesuai dengan yang dipungut ketika warga negara memasukkan barang di negara mereka. Dengan adanya pengaturan tersebut diharapkan setiap warga negara mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan perdagangannya sehingga diharapkan pertumbuhan ekonomi dapat terus meningkat.
Sebagai sebuah prinsip dasar, Islam mengatur cara perolehan, pengembangan, dan pemanfaatan harta. Pengembangan harta hanya boleh dilakukan dengan cara yang dibenarkan syara’, mencakup usaha pertanian, perdagangan, dan bidang jasa yang halal. Di luar itu, misalnya dengan cara membungakan uang, termasuk kategori terlarang (haram). Allah telah mengharamkan riba dan menghalalkan jual beli. Secara makro, sebuah tatanan ekonomi masyarakat yang ditopang dengan sistem ribawi tidak akan pernah betul-betul sehat. Kalaupun sekarang tampak sehat, ia sesungguhnya tengah menuju ke satu titik kolaps dari sebuah siklus krisis ekonomi, di mana kemajuan ekonomi yang dialami terus-menerus selama beberapa tahun akan berbalik dan terhenti. Dr. Thahir Abdul Muhsin dalam bukunya menyelesaikan Krisis Ekonomi Dengan Cara Islam menyebut bahwa bunga bank merupakan salah satu sumber labilitas perekonomian dunia. Alquran menyebut perekonomian ribawi sebagai orang yang tidak bisa berdiri tegak melainkan secara limbung bagaikan orang yang kemasukan setan. Dan orang-orang yang tetap mengambil riba setelah riba larangan dari Allah, maka diancam akan dimasukkan neraka. Selain riba, aturan hak milik yang diharamkan dalam Islam adalah perjudian, penimbunan, penipuan (ghabdn), penipuan (tadlis) dalam jual beli, perseroan-perseroan model kapitalis, bursa saham, dan menyewakan lahan pertanian.
Kesenjangan dan kemiskinan pada dasarnya muncul karena mekanisme distribusi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Permasalahan ini terjadi karena adanya penyimpangan distribusi yang secara akumulatif  berakibat pada kesenjangan kesempatan memperoleh kekayaan. Yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin semakin tidak memiliki kesempatan bekerja. Kesalahan menjalankan kebijakan sistem ekonomi termasuk mekanisme distribusi inilah yang menyebabkan munculnya praktik monopoli dan individualis, sekaligus rusaknya pengelolaan hak milik pribadi, milik umum dan negara. Padahal pada hakekatnya, semua pribadi dalam masyarakat harus memperoleh jaminan atas kehidupan yang layak. Atas dasar ini, Islam menjamin kehidupan tiap pribadi agar tetap sebagai komunitas yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Islam juga menjamin kemaslahatan pribadi dan melayani urusan jama’ah, serta menjaga eksistensi negara dengan kekuatan yang cukup sehingga mampu memikul tanggung jawab perekonomian negara.
Masalah ekonomi terjadi apabila kebutuhan pokok untuk semua pribadi manusia tidak tercukupi. Dan masalah pemenuhan kebutuhan pokok merupakan persoalan distribusi kekayaan. Dalam persoalan distribusi yang muncul, Islam melalui sistem ekonomi Islam menetapkan bahwa berbagai mekanisme tertentu yang digunakan untuk mengatasi persoalan distribusi. Mekanisme distribusi yang ada dalam sistem ekonomi Islam secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu (1) mekanisme ekonomi, dan (2) mekanisme nonekonomi. Mekanisme ekonomi adalah mekanisme distribusi yang mengandalkan kegiatan ekonomi dengan cara menetapkan kebijakan dan ketentuan yang sesuai syara’ agar tercapai distribusi kekayaan. Namun jika mekanisme ekonomi tidak dapat atau belum mampu berjalan untuk mengatasi persoalan distribusi, baik karena sebab-sebab alamiah yang menimbulkan kesenjangan ataupun kondisi-kondisi khusus,(misal bencana alam), maka Islam memiliki sejulmlah mekanisme nonekonomi yang dapat digunakan untuk mengatasi persoalan distribusi kekayaan tersebut. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa sistem ekonomi Islam sangat berbeda dengan sistem ekonomi Kapitalis yang hanya mengandalkan mekanisme harga (pasar) dalam mendistribusikan kekayaan di tengah masyarakat.
Dalam mewujudkan distribusi kekayaan, maka mekanisme ekonomi yang ditempuh pada sistem ekonomi Islam di antara manusia yang seadil-adilnya dengan cara sebagai berikut: (1) membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab hak milik dalam hak milik pribadi; (2) memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan hak milik melalui kegiatan investasi; (3) larangan menimbun harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun pada gilirannya akan menghambat distribusi karena tidak terjadi perputaran harta; (4)  membuat kebijakan agar harta beredar secara luas serta menggalakkan berbagai kegiatan syirkah dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan; (5) larangan kegiatan monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat menyebabkan distorsi pasar; (6) larangan kegiatan judi, riba, korupsi, pemberian suap, dan hadiah kepada penguasa; (7) pemanfaatan secara optimal (dengan harga murah atau cuma-cuma) hasil dari barang-barang (SDA) milik umum yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air, dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.
Didukung oleh sebab-sebab tertentu yang bersifat alamiah, seperti keadaan alam yang tandus, badan yang cacat, akal yang lemah atau terjadi bencana alam, dimungkinkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan terhambatnya distribusi kekayaan kepada orang-orang yang memiliki faktor-faktor produksi tersebut. Dengan mekanisme ekonomi biasa, maka distribusi tidak akan berjalan dengan baik karena orang-orang yang memiliki hambatan yang bersifat alamiah tadi tidak dapat mengikuti aturan kegiatan ekonomi secara normal sebagaimana orang lain. Maka pendistribusian harta juga dapat dilakukan dengan mekanisme nonekonomi sebagai berikut: (1) pemberian negara kepada rakyat yang membutuhkan; (2) pemberian zakat oleh muzakki kepada mustahik; (3) pembagian warisan; (4) pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah, dan hadiah; (5) ganti rugi terhadap kejahatan yang dilakukan seseorang kepada orang lain; dan (6) pengelolaan barang temuan. Namun, untuk mewujudkan distribusi kekayaan secara adil tidaklah mudah. Salah satu faktor penghambat distribusi yaitu adanya penimbunan emas dan perak. Oleh sebab itu, pengaturan mekanisme pemerataan oleh negara terbagi menjadi tiga aspek, yaitu baitu mal (mengurusi sektor pemilikan pribadi, umum, dan negara), mata uang, dan memperhatikan hal-hal yang diharamkan (berkaitan dengan mata uang, luar negeri, dan lain-lain).
Dalam penutup buku ini, terdapat satu pokok bahasan mengenai tatanan ekonomi Islam yang universal. Masih banyak kaum Muslimin yang tidak dapat m,enbedakan antara hukum-hukum Islam tentang pemikiran dan metode (afkar dan thoriqah). Sebab, tidak ada kitab-kitab fiqih yang disusun dengan memberikan uraian seperti ini. Keadaan ini tampak apabila umat Islam berusaha untuk menyelesaikan krisis moneter, antara lain dengan berdoa bersama, shalat hajat barjamaah, dan sebagainya. Bahkan untuk membuktikan siapa yang benar dalam kasus gugatan dan tuduhan, ada beberapa pemimpin di dunia Islam yang menganjurkan shalat hajat. Semua ini menunjukkan betapa minimnya pemahaman kaum Muslimin tentang metode hukum Islam. Oleh sebab itu, perlu pembahasan mengenai metode hukum-hukum Islam secara sepenuhnya. Selain itu, karena Islam merupakan sistem kehidupan, maka semua komponen yang terkandung di dalamnya harus dikaji secara utuh, jangan hanya sebagian saja, karena hal ini dapat menimbulkan kekacauan, bahkan dapat menyebabkan kekufuran bagi orang yang bersangkutan. Terdapat tiga asas penerapan hukum Islam yang ada di dalam kehidupan umat, yaitu: (1) ketakwaan individu yang mendorongnya untuk terikat kepada hukum syara’; (2) pengawasandan koreksi masyarakat; dan (3) negara yang menerapkan syariat Islam secara utuh. Apabila salah satu asas ini telah runtuh, maka penerapan syariat Islam dan hukum-hukumnya akan mengalami penyimpangan, dan akibatnya Islam, sebagai agama dan ideologi, akan hilang dari muka bumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar